Malam ini rembulan bersinar segemilang cahaya lampu strongkeng yang
menerangi beranda sebuah
rumah panggung (rumah adat dusun) yang didiami
seorang gadis berusia empat belas tahun yang bernama Qomariah. Ia hanya
tinggal bersama ayahnya setelah ibunya meninggal karena sakit. Gadis
dusun berkulit kuning langsat, matanya bulat jernih, rambut hitam
panjang yang selalu dikepang atau disanggul bangkok. Ia terlihat duduk
di bale-bale bambu di beranda rumahnya. Sembari merapikan kain songket,
baju kurung dan selendang yang membalut tubuhnya, sesekali ia bercermin
memastikan untaian bunga melati tertata rapi di sanggulnya. Qomariah
adalah salah seorang biduan pemula dari kelompok seni Antan Delapan di
dusunnya. Ayahnya seorang pemain alat musik di grup kesenian antan
delapan yang bernama Aminudin. Kesenian Antan Delapan adalah kelompok
musik tradisional yang terdiri dari delapan orang biduan perempuan yang
menyanyikan lagu daerah ataupun pantun yang bersahut-sahutan dengan
diiringi musik dari beberapa instrumen seperti gitar, biola, jidur,
ketipung dan tamborin. Kata Antan berasal dari alat penumbuk padi yang
berpasangan dengan lesung, maknanya adalah bahwa kesenian antan delapan
dilakonkan oleh delapan biduan perempuan sebagai lesung lalu mengajak
para penonton lelaki sebagai antan atau pasangannya yang dipilih dengan
mengalungkan selendang untuk ngibing (bernyanyi dan menari bersama).
Dengan tergesa Qomariah mendesak ayahnya untuk segera berangkat
bersamanya ke acara pentas kesenian antan delapan yang digelar di malam
pesta pernikahan warga dusun itu. Jika bepergian kemanapun Qomariah
sering ditemani ayahnya karena beliau seorang yang protektif terhadap
anak gadis kesayangannya. Sesampainya di tempat acara, ayahnya melepas
Qomariah untuk berpentas. Meskipun Qomariah masih muda belia dan
merupakan biduan pemula namun sangat dikagumi oleh para pemuda di
dusunnya. Hal ini dikarenakan selain berparas manis dan bersuara merdu,
ia juga mahir berpantun dan sangat berpegang teguh pada prinsipnya. “Aku
datang tidak sebagai wanita malam, aku datang kemari sebagai biduan
antan delapan, aku ingin melestarikan budaya tembang dan pantun. Tradisi
dusun kita!” katanya dengan lantang kepada salah seorang biduan senior
bernama Romlah yang kerap dan mahir menyanyikan lagu-lagu dangdut sambil
bergoyang. Biduan senior itupun menjawab dengan suara lembut dan
anggun, “Apa yang kamu tentang, Qomariyah?” “Prilaku orang-orang itu,
yang suka mencolek bahu dan pinggul Ayuk, kita ini bukan wanita perayu!”
tandas Qomariah.
“ Ya, itu karena kemurnian musik tradisi…
telah tercemari oleh musik dangdut masa kini.
Merangsang pria hidung belang,
berlaku tak sopan.
Kita ini memang hidup dari uang sewa.
Sehingga tak kuasa menolak permintaan si empunya acara.
Apapun lagu yang dikehendakinya,
haruslah kita turuti dengan segera.
Sejak terlarut dengan hiburan musik erotis dari televisi,
mereka tak lagi paham aliran seni tradisi.”
Kilah Romlah sambil bersenandung.
Qomariah terdiam, kemudian tanpa banyak membuang waktu ia pun segera
naik ke panggung dan disambut tepuk tangan serta siulan para penonton.
Ia mulai merangkai sebuah pantun sebagai salam pembuka:
Nyadap balam buleh seton
Behat ditimbang same si Atun
Selamat malam para penonton
Pailah betembang same bepantun
Jalan beireng ngambin papan
Peluh belimang ihopkan dugan
Kite ngibing diireng antan delapan
Penonton sopan kami pun segan
Alangke jaoh pegi ke arab
Tibe di arab menjual kuwini
Jangan galak mate besilap
Ingat di humah ade anak bini
Lantunan pantun menjadi pertanda dimulainya acara betembang dan
berlanjut pada penyematan selendang para biduan pada bujang-bujang yang
menjadi pilihan. Dengan sedikit tersipu, Qomariah menyematkan
selendangnya di leher seorang pemuda tampan bernama Samsudin.
Lalu dengan bersemangat Samsudin menari dan berpantun:
Di Lematang ade buaye
Buaye umpong tesantuk batu
Ading manis ngape tetawe
Amun kakang di parak kamu
Samsudin selalu berhasil memecah suasana dengan lantunan pantun yang merayu, lalu Qomariah membalasnya dengan pantun:
Alangke sakit tepijak paku
Sare mucilkanye pacak dicungkil
Amun kakang di parak aku
Aseka ati lulok ke pucil (Qomariah tersenyum)
Samsudin:
Satu, due, tige dan empat
Lime, enam, tujoh, delapan
Amun waktu maseh gi sempat
Insya Allah dek pindah haluan
Qomariah:
Banyak jehami di pucuk dangau
Dangau buhok di tengah ladang
Ape kakang dek pacak dengau
Ati begetar kehabak kakang
Samsudin:
Pegi ke dapau ngambik lading
Lading tumpol dek pacak digunekan
Tesilap mate nginak’i ading
Bekendak ati nak malam mingguan
Qomariah:
Lading tumpol sare digunekan
Sare makainye sampailah gile
Amun kakang ngajak malam mingguan
Ngatelah kudai gi jeme tue
Samsudin:
Gile nian kakaknye Hasan
Nyawer nginjuk duit seribu
Amun ading banyak alasan
Ase ati tecucok duri beribu
Qomariah:
Alap benau si mawar merah
Mending disiram jangan ditetak
Duhai kakang dide nak marah
Ading takut kakak bekendak
Samsudin:
Pajohan ayam adelah dedak
Ade cacing njadi rebutan
Demi Tuhan kakang dak bekendak
Kujaga ading lulok berlian
Qomariah:
Amun ahi maseh ujan deras
Dik mbatak payung betutup kain
Amun kakang maseh gi waras
Lemaklah ncakau gades lain
Samsudin:
Kuceng kuhus mandi di papan
Kerne kuhus palak lah pening
Njadi dide kite malam mingguan
Keputosan ade di tangan ading
Qomariah:
Otak tumpol jarang di asah
Dik njadi dokter, njadi biduan
Kukinak kakang lagi gelisah
Luse lah njadi malam mingguan
Samsudin:
Lubok nipis duson semende
Banyak lah kawe sedap ahomnye
Ading manis janganlah lupe
Kau sudah janji, ingkar beduse
Qomariah:
Ijat kawe njadi kupi semende
Disangrai dulu lalu digiling jeme
Ku sudah janji dik ke lupe
Kutunggu kakang di surau kite
Samsudin:
Ngape rami di humah mang iwan
Adelah kebau mati tetunjang
Tuape gawi malam mingguan
Ngajung ke surau urong blinjangan
Qomariah:
Sangkan mati die tetunjang
Kebau nganggu jeme nyemberang
Adelah gawi kite diundang
Ngaji di surau bukan sembarang
Samsudin:
Mucong duku buleh sekilu
Njadi tuntoman untuk betamu
Amun mitu kakang ke milu
Bagukne kite pacak betemu
Qomariah:
Mucung duku bulehnye batu
Sangkan pengehit dibatak betamu
Ahi lah malam abislah waktu
Ku pamit dulu sampai betemu
Pantun bersahutan antara Samsudin dan Qomariah menghantarkan mereka
berdua menjadi tokoh utama dalam pagelaran. Kekompakan mereka pun
mengalahkan kemesraan antara pasangan mempelai yang bersanding bahkan
seolah menjadi ajang adu kemahiran yang sengit antara dua pujangga.
Namun bagi mereka waktu tak cukup adil, menjelang tengah malam acara
betembang dan pantun bersahut pun berakhir. Sebelum undur diri dari
pentas salah seorang penonton yang rupanya agak mabuk berjalan menuju
pentas seraya berteriak “ Mengapa buru-buru bubar, ayo Romlah coba
nyanyikan lagu dangdut ‘cinta satu malam’
sambil goyang ngebor,
kalian kan sudah dibayar. Hahahaha…” Wajah Qomariah yang tadinya merona
merah jambu karena merasa senang bisa betembang dengan Pujangga
Pujaannya kini menjadi merah seperti bara karena merasa terhina oleh
celotehan pemuda mabuk yang merusak suasana. Qomariah pun berseru “ Kami
tak sudi, kami bukan penari erotis. Kau ini penjahat budaya yang hendak
menodai kemurnian seni tradisi dusun ini. Kau ingin menyeret kesenian
ini menuju ke arah diskotik?” “Sudahlah Qomariah, jangan pedulikan
perkataan orang mabuk, lagi pula dia anak orang terkaya di dusun ini.
Kita segera pulang saja, mintalah maaf pada penonton atas penolakanmu
tadi dan kita pamit pada tuan rumah” ayahnya berusaha meredam emosinya
yang mulai menanjak karena terpancing oleh perkataan pemuda mabuk tadi. “
Tapi Ayah, pemuda dusun seperti ini yang kelak bisa mencederai citra
antan delapan kita.“ tangkis Qomariah. “Ayah mengerti, tapi kita harus
menahan emosi dan menjaga suasana di tempat pesta orang yang menyewa
kelompok kita.” “Baiklah Ayah, aku mengerti.” Jawab Qomariah. Lalu
rombongan antan delapan itupun segera undur diri meninggalkan tempat
pesta yang sudah dibubarkan oleh panitia. Namun pandangan Qomariah masih
menelusur ke arah orang-orang yang beranjak pergi. Ia masih terkesan
dengan pemuda yang ngibing bersamanya tadi, bahkan dibawanya
bayang-bayang kebersamaan mereka sampai ke langit-langit di atas tempat
tidurnya sampai kantuk menghampirinya.
Esok paginya setelah
sholat subuh, seperti biasanya Qomariah turun ke sungai Lematang untuk
mencuci baju dan mandi. Di sepanjang perjalanannya ia bersenandung
tembang dusun. Sekelompok burung punai hinggap di jalan setapak dan
dengan kekanakan ia mengejar-ngejarnya hingga beterbangan. Ini menjadi
hiburan baginya atas kekesalannya karena kejadian semalam. Sesampainya
di sungai ia berjumpa dengan Romlah yang sedang mencuci pakaian. Mereka
pun mandi sambil bersenda-gurau dalam pantun yang bersahutan.
Romlah:
Ikan cehucok ditepekka di kendi
Mengkilap kendi digusok batu kali
Lulok mane nian aku nak mandi
Men gadis alap dang miseng di kali
Qomariah:
duson lubes, duson tanjung jati
ade taik sapi, banyak taik kebok
busong mules, ke sungai meniti
dek menekan jeme, nginak ngan becebok
Romlah:
Bejalan keting nginak pematang
Badan kereh ase nak minum
Jangan galak miseng di lematang
Ajung pemerintah buat wc umum
Qomariah:
Cine bute makenye betaik mate
Ambik piring amun pacak di bawah tangge
Woi kance, mamang bibik, bapang endung, tante
Sayangi sungai kite mangke pacak tetawe ngerege
Mereka tampak asyik menikmati setiap percikan kesegaran air sungai dan
kesejukan udara pagi laksana bidadari di taman surgawi. Setelah mereka
cukup puas mandi dan bermain air mereka pun segera beranjak naik ke
tepi. Dari hulu sungai mendekatlah sebuah rakit. Pucuk dicinta ulampun
tiba, rupanya Samsudin dan pamannya yang pulang membawa ikan dan udang
hasil tangkapan. Romlah pun mencubit kecil lengan Qomariah seolah paham
dengan kuncup gembira yang bermekaran di hati Qomariah. Lalu mereka
bertegur sapa. “Qomariah aku suka dengan penampilanmu semalam, kalau ada
waktu bolehlah kita berlatih tembang dan pantun bersama.” kata
Samsudin. “ Tentu saja boleh, mainlah sore nanti ke rumah bila hari tak
hujan, pasti ayahku mengizinkan dan jangan lupa membawa gitar.” Jawab
Qomariah. Kemudian mereka pun saling berpamitan dan pulang ke rumah
masing-masing.
Sepanjang jalan pulang Qomariah merenungi masa
depan tradisi budaya dusun ini. Apalagi bibinya yang tinggal di kota
menawarkan Qomariah untuk tinggal bersamanya dan melanjutkan sekolah di
kota setelah ditinggal ibunya. Sepengetahuan Qomariah dari menonton
berita di televisi hidup di kota itu tidak senyaman di dusun. Banyak
kejahatan, lingkungan yang tak asri dan tradisi pribumi yang telah
terjajah oleh invasi budaya asing. Semua bahan makanan harus dibeli.
Tapi di dusun ini padi dan sayuran ditanam oleh warga di sawah dan
ladang. “ Aku ribang mutik tihau untuk digulai, tahok ubi untuk ulam,
ncakawi belut same cehucok di sawah, mucung duku kalu dang musim, njage
dehian titik di dangau tengah ume, nyakauwi ranting kehing di utan untuk
puntong, bebiye di ume. Mane pacak aku gawe mitu di kota?” gumamnya.
( aku senang memetik jamur untuk disayur, daun ubi untuk lalapan,
mencari belut dan ikan gabus di sawah, memungut duku yang runtuh di
musimnya, menjaga durian yang jatuh di pondok tengah kebun, mencari
ranting kering di hutan untuk kayu bakar dan kebersamaan di sawah. Mana
bisa aku melakukan hal-hal seperti itu di kota )
Sesampainya di
rumah Qomariah langsung menemui ayahnya yang sedang menyetel dawai biola
tuanya. “ Ayah, aku tak mau tinggal dan sekolah di kota, aku mau di
dusun saja menemani ayah. Aku bangga menjadi orang dusun dan aku tetap
ingin menjadi biduan antan delapan. Lagi pula siapa yang akan membantu
ayah dan membawakan makan siang untuk ayah di sawah dan kebun kita.”
Kata Qomariah. “ Ayah tidak merasa kerepotan tanpamu, sawah kita kan
hanya musim penghujan saja ditanami dan buah-buahan di kebun juga ada
musimnya, jadi tidak setiap hari kita ke sawah dan ke kebun. Tak perlu
mengkawatirkan ayah. Ayah ingin kamu maju dan masuk ke sekolah unggulan
di kota, bibimu kan seorang guru, tentu ia akan mendidikmu menjadi
perempuan dewasa yang pandai dan elegan nantinya. Supaya kau nanti
mendapat suami yang mapan. Tidak seperti ibumu sayang, ia mendapat suami
seorang pemain musik yang berpenghasilan kecil. Sawah dan ladang kita
itu adalah peninggalan kakek nenekmu. Ayah sedih tak bisa membuat hidup
kalian sejahtera. Kita hanya tinggal di rumah panggung kecil, pergi
kemanapun berjalan kaki.” jawab ayahnya sambil meneteskan air mata. “
Aku tak mau Ayah sedih seperti itu, aku dan almarhumah ibu sangat
bahagia dengan ini semua ayah, aku tetap akan bertahan dengan
cita-citaku ayah, aku akan memajukan kesenian antan delapan dusun kita.
Aku tak mau meninggalkan ayah.” balas Qomariah dengan isakan pula dan
bersimpuh di lutut sang ayahanda. “ Ayah, nanti sore kak Samsudin ingin
main ke rumah kita, mau belajar betembang denganku, bolehkah ayah?”
pinta Qomariah sembari mengalihkan kesedihan ayahnya. “ Oh… bujang yang
tadi malam ngibing denganmu, tentu saja boleh tapi ingat jangan sampai
dia macam-macam denganmu, bisa kuusir dia.” jawab ayahnya seraya memberi
rambu-rambu. Mendengar jawaban ayahnya, mata Qomariah berbinar-binar
laksana bintang kejora di malam hari.
Menjelang sore Qomariah
merapikan rumahnya dan membersihkan halaman rumah melebihi dari
biasanya, ia sangat antusias menanti kedatangan Samsudin. Tak lama
menunggu Samsudin pun tiba dengan mengucap salam, “ Assalamu’alaikum
Pak,” “Wa’alaikumusalam, mari naiklah Sam.” Sambut Pak Aminudin dengan
nada ramah dan berwibawa. “ Saya mau berlatih betembang dengan petikan
gitar tunggal, Pak.” jelas Samsudin agak segan. “Silahkan kalau mau
berlatih betembang dengan Qomariah,” jawab Pak Aminudin. Jantung
Qomariah berdegup kencang, ia tak pernah merasa gugup sepanjang
betembang di atas pentas, namun saat Samsudin bertandang ke rumah untuk
mengiringinya betembang dengan petikan gitar tunggalnya ia merasa
seperti kena gempa berkekuatan di atas 8 skala Richter. Mungkin karena
ia merasa baru kali ini bertemu dengan orang yang sangat mahir memetik
gitar tunggal dan berpantun. Memang tak banyak pemuda dusun yang
memiliki bakat seperti itu. Pemuda sekarang lebih cenderung
menggandrungi budaya asing dan modern. Sehingga tak heran jika Qomariah
mengagumi sosok Samsudin yang masih sangat fasih dengan budaya dan
tradisi dusun. Dengan piawainya jemari Samsudin mulai memetik gitar
tunggalnya dan mulai betembang pantun:
Dari ume nak balik ke humah
Musim angin mbusik layangan
Dari mane asalnye ding Qomariah
Negeri langit yelah khayangan
Samsudin membuat Qomariah tersipu dan dibalaslah dengan pantun:
Pegi kalangan mbeli nasi kepal
Oi…kakang, dide usah nak gombal
Samsudin:
Ke kalangan mbeli kuwini
Kuwini titek tecucok peniti
Pandanglah mate kakang ini
Terawanglah sampe ke ati
Qomariah:
Ngireng sapi masuk ke kandang
Pegi akap balik lah gelap
Aku nindak natap mate kakang
Takut tesilap lajulah khilap
Samsudin:
Kelape sawet dibuat minyak
Mangke madi nak ditanak
Alangke ilok si gadis tunak
Iloklah dibuat nantu umak
Qomariah:
Alap benau bujang besepatu
Teluk belango gagah betanjak
Sabarlah kakang nungguke aku
Umur gi mude baru nak beranjak
Samsudin:
Nebang buloh mbuat ikan sepit
Nyihang santan lupe bekunyit
Bapang dengan lah bejelit
Jelang maghrib kakang nak pamit
Qomariah:
Petang tibe ahi lah gelap
Lilin titik dek sengaje
Kami bedue mintak maap
Ame ade salah lupekan saje
Qomariah mengakhiri tembangnya dengan indah dan rasa antusias semakin
membesarkan hatinya untuk memajukan seni antan delapan di dusunnya. “
Lusa atau kapanpun kau boleh latihan kemari lagi.” Kata Pak Aminudin. “
Dengan senang hati, Pak, kalau tak keberatan bolehlah saya belajar main
biola kepada Bapak.” Nada suaranya nampak sangat kegirangan sebenarnya
begitu pun dengan Qomariah. “ Ya, tentu saja.” Pak Aminudin mengiyakan.
“Saya akan datang untuk belajar ke sini setiap hari minggu Pak.” Sambar
Samsudin dengan ‘Smash 100 watt’ nya untuk mengunci jawaban Pak Aminudin
begitu mendapatkan angin yang begitu segar dari jawaban ayah Qomariah
tersebut. Samsudin segera berpamit dan tak lupa bersalam sujud kepada
Pak Aminudin. Demikian memang tata krama anak muda kepada orang tua yang
menjadi tradisi di dusun ini. Qomariah melepas kepergian Samsudin
dengan hati yang gundah seperti orang yang telah melewati peristiwa yang
sangat berkesan. Hanya rasa kehilangan yang kini tinggal di dalam bilik
hatinya. Sorot matanya tak ingin melepas pada sosok itu sampai
benar-benar hilang dari pandangan. Azan maghrib pun berkumandang
mengajak penghuni rumah panggung tersebut untuk menghadap Tuhannya.
Keheningan petang perlahan meluruh oleh lirihnya lantunan ayat suci dari
dalam rumah panggung itu. Menambah cita rasa kedamaian dan kenyamanan
dalam hunian mungil di dusun itu.
karya :
Shandy Surya Kelas 9.A dan Janti Respati Ekoyani, S.Pd (Guru SMP N 5 Muara Enim)
Thursday, February 26, 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment