Namaku Isman, pemuda dusun (desa) berusia empat belas tahun, namun orang-orang lebih sering memanggilku dengan julukan Seman. Aku tinggal di sebuah rumah panggung kecil bersama ibuku yang bernama Azizah, kakekku yang bernama Abidin dan dua orang adik kembar perempuan yang bernama Izzah dan Iffah. Aku lahir di dusun yang asri ini, sebuah dusun yang dilalui sungai Lematang yang jernih dengan sawah yang terhampar bagai permadani hijau serta hutan dan perkebunan yang menjadi kanopi bumi. Namun belakangan dusun ini terlihat gersang, sawahnya kering dikuras musim. Paceklik ini bagaikan hantu yang siap mencekik. Itu membuat kakek dan ibuku menanggalkan cangkul dan berganti menjadi buruh harian di perkebunan karet ataupun menjadi kuli tambang pasir di sungai. Ayahku bernama Abdullah sudah meninggal setahun yang lalu karena sakit. Sejak itu ibu dan kakekku yang membanting tulang untuk bertahan hidup. Sedang aku harus menjaga adik-adik perempuanku yang masih berumur lima tahun. Namun semangat kakekku menurun di batang usianya yang kian tinggi. Aku dan ibu memakluminya.
“Asenye kabau rupenye jehing
Regenye murah, laju nak nambah
Musem kemarau ayek tekehing
Getah balam murah, sedut nak nabah”
Nada suara kakek terdengar sangat lunglai dan redup.
“Embau kabau rupenye jehing
Ancingnye tehembus lih angin
Hadulah kudai jangan nak pening
Biarlah aku ye pegi mbungin”
Jawab ibuku dengan nada suara yang kekar
“Asingne embau kabau nga jehing
Mpuk same ndetupnye dilekang angin
Ayek sungai Lematang ampirlah kehing
Payu kite gegacang pegi mbungin”
Kemauan ibu yang keras menggugah semangat baru kakek yang hampir putus asa. Begitulah ibuku yang patriotis. Ia tak mau dikalahkan oleh keadaan. Seorang yang terlihat sederhana. Tapi di dalamnya ada sesuatu yang besar dan hebat. Lengkap. Walaupun gendernya seorang perempuan tetapi dalam hal bekerja, kegigihan dan semangatnya seperti seorang lelaki. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh kaum lelaki seperti mencari kayu bakar, memperbaiki atap rumah, mencangkul di sawah dan menambang pasir di sungai. Betapa kuatnya mental perempuan mulia itu. Dialah ibuku. Sudah lebih dari setengah tahun ini kakek dan ibu bekerja sebagai buruh harian. Sedang aku tak diizinkan ikut membantu bekerja bersama mereka. Kata ibu, aku harus belajar, menjaga adik-adik dan membereskan rumah saja. Setiap menjelang petang rasa cemas sering melanda, menanti kepulangan mereka berdua. Semoga mereka berdua tetap sehat dan selamat, pintaku pada Tuhan. Aku cukup trauma dengan kepergian ayahku. Itu adalah pukulan yang teramat berat buatku. Tapi menurutku ibulah yang paling menderita karena kehilangannya. Tapi ibuku adalah aktris watak. Tak pernah kutemukan mimik sedih di wajahnya. Tapi aku mengetahui. Aku membaca hatinya. Kubaca hatinya dengan sangat pelan hingga ia pun tak mendengarnya. Hanya Tuhan yang pasti mendengarku dan kusampaikan pada-Nya jika air mataku hanyalah anak sungai bagi derasnya arus sungai air mata ibu, maka sayangilah ibuku melebihi kasih-Mu padaku.
Rerintik pagi di awal Oktober menandakan berakhirnya kemarau panjang yang melanda dusun ini. Tetes demi tetes air hujan membasahi tanah kering yang telah lama dipecah oleh teriknya panas matahari. Legaku seirama dengan derai air mata bahagia sang langit yang melingkupi dusun ini. Bau tanah basah pun membangunkan semangat para petani yang telah lama berhibernasi. “Yehaaa….musim hujan tiba.” teriakku ke luar jendela dan langsung berlari ke tundan (beranda rumah adat dusun) “Subhanallah walhamdulillah, aku beryukur atas berkah-Mu” gumamku sambil menadahkan tangan tepat di pancuran air dari atap rumah. Aku pun berlari menemui kakek di ruang tengah yang telah usai membaca kitab.
“Midang ke bandung meli kuwini
Amun dijagal anjing sambitke batu
Nineng endung, tibe waktunye nguni
Amun pacak aku nak milu mbantu”
Kubangunkan semangat kakek dengan segelas kopi dan sepenggal pantun, lalu kakek menjawab:
“Midang ke bandung meli kuwini
Sangu senjate mbataklah batu
Nineng, endung nak pegi Nguni
Minggu luse kau pacak mbantu”
Setali tiga uang dengan kakek, Ibu pun turut membalas:
“Lekang kepayang timpe lih kedundung
Ambik lading kupaslah manggis
Kakang sayang bantulah ndung
Njage si ading make nide nangis”
“Sangke niyu abatne kedundung
Ambik lading kukupas manggis
Sangkan jiku Jangan tepene, ndung
Kujage ading make nide nangis”
Begitulah ibu dan kakek yang selalu menghendaki aku supaya belajar saja di sekolah dan menjaga adik-adik di rumah, aku hanya berkesempatan membantu di hari libur. Kubawa Izzah dan Iffah turut serta untuk menambah semangat mereka bekerja dengan kelucuannya.
Sawah di dusun ini adalah sawah tadah hujan sehingga hanya dapat ditanam satu tahun sekali. Musim hujan menjadi pengharapan bagi kegiatan menanam padi. Tiga minggu kemudian semaian padi sudah cukup umur untuk ditanam, seorang tetangga bernama Pak Hasan datang ke rumah merundingkan jadwal penanaman tanaman padi di sawah. Kegiatan yang dilakukan secara gotong royong dari sawah seorang warga ke sawah warga yang lain secara bergantian ini disebut bebiye, suatu kearifal lokal yang menjadi tradisi para petani di sawah dusun ini.
“Model gendum dimakan rerami di pance
Laksan ade, kolak pehenggi pule
Assalamu’alaikum kami datang nak bemance
Berasan ade kendak nga nulongi pule”
Sapa Pak Hasan dengan ramah.
“Tahuk salam njadi bumbu masuk ke kuah
Nide sesimbang kuali, lajulah cunding
Wa’alaikumussalam, pailah masuk ke humah
Mangke sesimbang rasan, kite berunding”
Balas kakek dengan sikap yang terbuka.
“Mehendang ijat kupi semende
Amun ditumbuk ahom diembau
Menanam padi pailah bebiye
Amun setuluk Wak… ngatelah au”
Tawar Pak Hasan dengan penuh harap.
“Kota serasan kota ye iluk
Rene bebiye, tekumpul rete
Kite serasan kite setuluk
Kebile bebiye, kemintul saje”
Jawab kakek dengan keikhlasan dan kelegaannya. Percakapan hangat antara kakek dan Pak Hasan memberikan ssetitik harapan pada ibu yang sudah sangat lelah menaklukkan keadaan. Kami sangat tertolong dengan tradisi bebiye ini karena ayahku sudah tiada. Begitu pun warga lain yang kesulitan tenaga. Hidup saling tolong menolong untuk menghidupkan kembali sawah kami yang telah lama kering.
Hari minggu pagi yang basah setelah diguyur hujan lebat semalam memberikan aroma segar untuk mulai bebiye menanam padi di sawah kami. Aku pun antusias dan bergegas ke sawah bersama ibu, adik-adik dan kakek.
Di dangau (gubug kecil) ternyata beberapa tetangga telah menunggu kami. Setelah bercakap-cakap mereka pun segera turun ke sawah. Sementara aku menjaga Izzah dan Iffah di dangau sambil menikmati udara segar dan mengamati sekawanan burung bangau dari arah selatan dan sekawanan burung kuntul dari arah timur yang beterbangan karena terusik oleh kehadiran para petani. Mereka singgah di sawah kami untuk memangsa belalang dan ikan-ikan kecil. Dari saku kukeluarkan seruling bambu pemberian almarhum ayahku. Kunyanyikan tembang dusun berjudul Sukat Malang. Sebuah lagu sendu yang sering didendangkan ibu, mungkin seirama dengan kesedihan hatinya sejak kepergian ayah. Tapi Izzah dan Iffah cukup terhibur dengan lantunan suara serulingku sehingga dapat mengusir rasa bosannya, mereka memang belum mengetahui makna di balik lagu ini. Kemudian kuajak Izzah dan Iffah menagkap ikan. Ikan di sawah ini cukup banyak, ada ikan kalang (lele), cehucok (gabus), puyu (betok), behingit, belut, sepat, seluwang dan udang. Ikan-ikan yang seolah menghilang saat sawah kami kering namun mereka kembali menghuni sawah ini saat ada genangan air di musim hujan. Kata ibu beberapa jenis ikan memiliki kemampuan hidup di kedalaman lumpur yang tersisa saat musim kemarau karena memiliki labirin (alat bantu pernafasan) dan sebagian ikan yang tidak memiliki labirin mereka mudik ke tebat (migrasi ke sumber mata air yang terhubung dengan sawah ini). “ Ibu… bolehkan aku menangkap ikan bersama Izzah dan Iffah?” tanyaku. “ Ya…tentu saja boleh, carilah ikan yang banyak untuk lauk makan siang kita bersama. Ibu hanya membawa nasi, sayur nangka, sambal dan lalap saja dari rumah. “ Dengan bersemangat, kami bertiga menangkap ikan dengan tangguk (sejenis jala kecil). Kami berteriak kegirangan manakala mendapat ikan. Sudah terkumpul cukup banyak ikan dalam kambu (keranjang ikan) dan satu keruncung (keranjang kecil) kembuay (keong sawah) untuk lauk makan siang hari ini. Inilah kegiatanku seusai sekolah maupun di hari libur. Sembari menyiangi ikan aku mendendangkan beberapa bait pantun:
Manggang behingit di tengah ume
Tehung tehang cecalka sambal caluk
Mamang bibik bebiye di tengah ume
Tulong tetangge ncecah njadilah iluk
Nangke mude buah dundungan
empulukh dibuang dimakan jangan
Mangke nide cemar lingkungan
Tahuk pisang njadikelah ibatan
Nyihang kembuay dalam kuali
Pucili cangkangne bumbuke cabi
Siang ahi sudahi kudai gawi
Pailah makan nasi kite rerami
Semua orang yang bebiye istirahat sejenak dan makan siang bersama di dangau, masakan sederhana ibu dan lauk buatanku terasa sangat nikmat disantap. Semua menjadi istimewa karena tenaga yang terkuras dan rasa lapar yang luar biasa terbayar oleh hidangan yang bercita rasa. Aroma wangi nasi yang terbungkus daun pisang dan sambal caluk (terasi) yang diramu ibu sangat mengguggah selera, ditambah lalapan, ikan panggang, gulai nangka dan gulai kembuai (keong sawah) menjadikan semua sajian menjadi sempurna. Aku belajar banyak dari cara ibu memasak. Ia adalah seorang koki terbaik menurutku.
Kegitan bebiye terus berlangsung secara berigilir di sawah kami sampai sawah para tetangga. Kami bersyukur tradisi dan kearifan lokal ini masih terjaga sampai hari ini. Dua bulan telah berlalu dan tanaman padi kami tumbuh dengan subur. Satu tradisi yang telah menanti yaitu ‘sedekah ume’. Sedekah ume adalah acara doa bersama yang dihelat para petani dengan mengundang warga desa di surau atau musholla dan ditutup dengan acara makan bersama hidangan nasi uduk dan lauk pauknya yang dibawa si empunya hajat, yaitu para petani yang berharap pada Tuhan untuk menjaga tanaman padinya agar tumbuh subur sampai berbuah dan dijauhkan dari bencana gagal panen. Penduduk desa menyepakati hari Jumat seusai sholat berjama’ah dilaksanakan sedekah ume. Kami menantinya dengan penuh antusias.
Bunyi ritmik hentakan beras pada niru (alat penampi beras tradisional) membangunkanku. Jumat dini hari menjelang subuh ibu sudah menampi beras untuk persiapan sedekah ume..“ Bak… kita tak punya uang untuk membeli bahan lauk pauknya, bagaimana ini?” Tanya ibu kepada kakek. “ Sesungguhnya tak ada aturan yang tertulis tentang sedekah ume, ini bukan termasuk rukun ataupun ibadah bagi umat Islam secara umum, ini hanya sekedar amalan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yaitu petani padi. Untaian doa dan sedekah makanan yang dibalut adat istiadat dan tradisi dusun kita. Tentang hidangan, tak harus setara dengan kemampuan orang lain, Tuhan tidak memandang rendah umat dari ketidakmampuannya. Sajian sederhana pun asalkan kita ikhlas maka berkahnya akan tetap kita dapatkan.” Jawab kakek. “Ah, kita masih punya itik dan beberapa telurnya, aku ingin anak-anak merasa senang. Hanya setahun sekali, tak mengapa. Tak akan berkurang telur dan itik-itik kita hanya karena bersedekah kepada warga.” Kata ibu dengan penuh semangat. “ Itu baik sekali, akan kupanggil Seman untuk membantuku menyembelih itiknya.” Balas kakek.
Jumat menjelang siang aku sudah gelisah di dalam kelas, tak sabar menanti bel tanda usai sekolah, sebab aku akan bersiap sholat jumat di musholah dan berlanjut pada acara sedekah ume. Sedekah ume memang menjadi euphoria bagi anak-anak di dusun ini. Aku memang tidak jajan di kantin sekolah hari ini karena untuk menghemat uang saku, aku hanya ingin makan hidangan sedekah ume. Hari yang agung sengaja dipilih untuk sebuah pesta tradisi. Di mana hari ini kami dilarang bekerja di sawah, aku tidak tahu persis alasannya. Aku hanya akan berprasangka baik bahwa hari Jumat yang merupakan hari besar umat kami memang sebaiknya libur atau istirahat bekerja dan dikhususkan untuk melakukan ibadah seperti sholat jumat berjamaah dan peramalan lainnya. Aku tidak berpikir picik tentang ajaran nenek moyang kami.
Setiba di rumah aku mandi dan bergegas ke Mushola bersama kakek dengan membawa hidangan untuk sedekah ume usai sholat jumat nanti. Ibadah sholat berjama’ah berlangsung dengan hikmat. Kotbah jumat pun memancar bagai cahaya yang menembus hati dan mencerahkan kalbu kami. Kalbu yang sudah satu minggu ini menyuram karena terpolusi oleh debu-debu pengotor hati. Begitu bersih dan segarnya hati yang usai mandi cahaya seperti padi yang tersiram hujan. Untaian doa-doa dan doa khusus sedekah ume pun terpanjat yang dikhalifahi oleh sang pemuka agama. Di beranda musholla anak-anak sudah tertib duduk bersila menunggu hidangan nasi uduk yang di bawa para petani. kami pun segera menyantapnya dengan suka cita. Semua jemaat mencicipinya tanpa terkecuali. Rasa syukur hinggap di hati karena banyaknya jemaat yang hadir dan turut mendoakan usaha para petani.
Beberapa minggu setelah sedekah ume, bulir padi mulai berisi dan kami lebih sering menjaga tanaman padi kami dari burung-burung pemakan biji-bijian seperti pipit dan glatik juga dari tikus sawah dan hama padi lainnya. Aku membuat sendiri kekibang (boneka sawah) dari jerami untuk mengusir pengganggu tanaman padi kami. Para petani pun bersuka cita di kala panen tiba. Sawah yang hijau menjadi kuning keemasan. Sungguh nuansa yang sangat indah tiada tara. Padi yang menguning kian menunduk laksana hati yang terbuat dari emas. Semakin bernilai semakin menundukkan kepala. Padi yang rapat berjajar seperti jemaat dalam shaf yang tawadhu’ dan kudus di hadapan Tuhannya. Makna filosofis bulir padi yang mengalir dalam nafas keyakinan kami. Tradisi bibiye pun terusung kembali di masa panen. Semangat gotong royong dalam ukhuwah terjalin di hati emas mereka. Rasa lelah tertebus dengan hasil melimpah dalam panen raya. Alunan ritmis antan pada lesung yang memecah atah (gabah) menjadi musik instrumen yang mengiringi gestur tubuh ibung-ibung (perempuan-perempuan desa) yang menyulap padi menjadi beras dengan tariannya. Semua aksi sejak Nguni (menyemai benih) sampai menumbuk padi adalah suatu maha karya seni bertani laksana pentas drama yang tergelar secara alami.
Setiba di rumah aku langsung berbaring di tempat tidurku dengan secarik kertas kosong dan sebatang pensil. Kurangkai beberapa larik kisah tentang tradisi dan seni bertani di dusunku. Di sekolah tadi Ibu guru memberi tugas PR untuk membuat puisi tentang lingkungan dan kearifan lokal di desa ini. Dan aku menulis puisi ini untuk ibu guru dan ibuku.
Nuansa Panen Raya
Indahya bulan ini dalam nuansa panen raya
Para petani pun bersuka ria
Langit biru mempersunting hamparan padi yang menguning
Terlukis molek dalam cermin selarik sungai yang mengalir bening
Bulir padi kian berisi pertanda hasil kerja keras membuahkan asa
Urat-urat tubuh yang kesat di punggung dan lengan mereka
Menggambarkan besarnya perjuangan
Setiap hari sejak pagi hingga petang menjelang
Bagi mereka
Bertani bukanlah apa-apa
Tetapi menanam padi adalah darah dan daging yang terus memompa semangat,
harapan dan sebuah mimpi kecil mereka
Selintas ingat akan peristiwa bulan januari lalu
Saat persaudaraan terasa begitu kental dalam tabuh
Sinar mentari turut menghangatkan keharmonisan
Kegembiraan di kala anak-anak berebut makanan
Dan keakraban bersedau gurau
Ya… sedekah ume di beranda surau
Sebuah pesta tradisi yang menghimpun harapan besar
Merayu Sang Pencipta untuk menjaga padi mereka agar tumbuh kekar
Mengendapkan awan menjadi rintik hujan
Menyiram hati yang tertanam agar tidak gersang
Putihnya isi hati yang kian tertunduk sebagai bulir
Menghidupi semua orang dari hulu hingga ke hilir
Kini waktunya ‘bebiye’ kawan!
Waktu semua orang bersatu dalam kebahagiaan
Tawa ria di tengah kuning padi yang rapi berjajar
Rasa kegotong-royongan kian mengakar
Hidup berdampingan erat tak bersela
Dalam nuansa keindahan panen raya
Ingatlah kawan… Ini adat dan budaya negeri kita
Kemanapun kau bertandang, jagalah warisan tradisi kita
Agar tak luntur paras asli negeri
Indonesia tercinta yang berbalut tradisi
Karya : Janti Respati Ekoyani, S.Pd
Guru SMP Negeri 5 Muara Enim
0 comments:
Post a Comment