Khotbah. Bagi kita
yang mengenal sejarah Islam pastilah telah memiliki pandangan positif
tentang betapa sempurnanya ajaran agama ini hingga sanggup membentuk karakter
para pendahulunya menjadi pejuang, bahkan pemimpin yang hebat. Di antara para
sahabat Assabiqunal Awwalun yang begitu lekat dalam ingatan
kita, yaitu sosok sahabat seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab,
Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib ditambah lagi dengan para tabi’in yang
pernah menjadi pemimpin di kalangan umat Islam. Bila mengenang kembali
aksi-aksi fenomenal mereka di zaman Rasulullah dan di masa-masa kekhalifahan,
maka sangat terasa kenangan sejarah itu menumbuhkan sebuah kerinduan akan
hadirnya kembali karakter-karakter kepemimpinan seperti mereka. Hampir tidak
kita temukan indikator-indikator yang menjadi bukti kegagalan mereka. Yang
ada justru adalah kisah-kisah sukses tentang kepemimpinan mereka. Mari
kita simak penggalan-penggalan kisah kepemimpinan inspiratif beberapa di antara
mereka.
Abu Bakar
ash-Shiddiq, Sang Pemimpin Waraa’
Dalam sebuah
penggalan pidatonya yang terkenal, Abu Bakar ash-Shiddiq dengan
lantangnya mengatakan, “Orang yang kalian nilai kuat, sebenarnya kuanggap
lemah. Adapun yang kalian pandang lemah adalah orang yang kuat dalam
pandanganku.”
Inilah
kalimat yang menggambarkan keberanian dan keadilan beliau sebagai pemimpin.
Tidak membuka peluang untuk berkongsi terhadap kekuatan-kekuatan besar. Akan
tetapi, lebih memilih untuk menjadi penguat bagi mereka yang lemah. Tidak
seperti yang terjadi saat ini. Kekuasaan justru hanya menguntungkan orang-orang
dekat, pengusaha-pengusaha kakap, pejabat teras dan kalangan elit lainnya.
Sedangkan rakyat kecil dimarjinalkan, pedagang kecil digusur, orang bodoh
dibodoh-bodohi dan dibohongi, pegawai rendahan dibentak-bentak, dan bila tak
berduit jangan mimpi memperoleh pelayanan lebih.
Bahkan
beliaupun tak segan mengangkat pedang untuk memerangi mereka yang telah murtad,
yang enggan menjalankan perintah Allah dengan menyebarkan kesesatan, dan yang
tidak mau mengeluarkan zakat. Penyimpangan iman pasca wafatnya
Rasulullah ini telah menggerakkan Abu Bakar untuk membentuk 11 unit
pasukan perang untuk memberantas para pelakunya. Begitulah sosok
khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq. Apa yang pernah dikatakan dan dilakukan Abu
Bakar sebagai pemimpin adalah sebuah komitmen imaniyah antara Allah, dirinya
dan umat yang dipimpinnya ketika sudah diangkat sebagai khalifah. Inilah yang
melahirkan kegigihan dalam mewujudkan ucapan janji itu.
Yang terjadi
pada pemimpin kita saat ini bukan hanya disumpah menyebut nama Allah saat
dilantik. Bahkan sebelum terpilihpun telah mengumbar janji-janji manis dan
kemudian mengkhianati sumpah dan mengingkari janji-janjinya. Mereka menjanjikan
jalan ke ‘surga’ tapi yang ada adalah jalan ke ‘neraka’. Mereka menjanjikan
cahaya terang tapi yang ada adalah gelap gulita. Mereka sesumbar tak akan
mengambil gaji sepeserpun. Tapi, yang dia kumpulkan adalah tunjangan-tunjangan,
gratifikasi, mark-up, komisi perjalanan dinas, dan
hadiah-hadiah jatah proyek. Mereka berkomitmen untuk mengemban
tugas dalam 5 tahun, tapi belum seumur jagung periode kepemimpinan kembali
tergoda untuk meraih jabatan yang lebih tinggi dan menjanjikan kekuasaan dan
materi.
Ingatlah
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَأَوْفُوا
بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
“Dan
penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.”
(Qs. al-Isra`: 34)
Umar bin
Khatthab, Khalifah Pemberani yang gemar Turun ke Lapangan
Efek
keberaniannya menyebabkan setan-setan menjauh dari jalan yang akan dilalui
olehnya. Namun, sang khalifah begitu mudah meneteskan air mata jika ada
rakyatnya yang kelaparan. Dia tak akan nyenyak tidur sampai memastikan
perut-perut rakyatnya telah terisi makanan. Suatu ketika, Khalifah Umar
menemukan seorang ibu yang memasak batu hanya untuk menghibur anak-anaknya yang
menangis kelaparan karena tak lagi memiliki makanan. Pada saat itu juga, Umar
sendirilah yang memikul sekarung gandum yang diambil dari gudang Negara.
Bila Umar
tak ingin diketahui oleh orang saat melakukan blusukan dan dilakukan di saat
larut malam, maka pemimpin yang saat ini melakukannya di tengah gegap gempita
liputan media. Dia tak akan turun dari mobil jika kamera
wartawan belum siap menyorotnya. Kegiatan itu dilakukan semata-mata untuk
melambungkan popularitas sang pemimpin. Inilah model pemimpin yang gemar
membohongi rakyatnya dengan tampilan luar belaka. Keasliannya ternyata tak
seperti apa yang nampak. Kebohongan menjadi bahasa yang enteng
diucapkannya.
Jama’ah
Jum’at Rahimakumullaah,
Masih begitu
banyak pemimpin di kalangan Islam yang memiliki rekam jejak dengan segala aksi
fenomenal mereka. Di antara mereka adalah, Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
pernah dikisahkan bahwa beliau mematikan lilin istana ketika berbincang dengan
putranya karena tidak pantas bagi seorang Khalifah menikmati cahaya lilin yang
dibeli dari uang rakyat ketika membicarakan masalah keluarganya. Dia juga
pernah diberikan kuda tunggangan peliharaan terbaik untuk kendaraan dinasnya,
tapi dia menolaknya dan memerintahkan untuk menjual kembali kuda itu dan
uangnya disimpan di Baitul Maal. Di masa kekuasaannyalah tidak lagi
ditemukan penerima zakat. Penurunan angka kemiskinan yang cukup fantastis
menjadi indikator kesuksesannya yang paling fenomenal di bidang ekonomi.
Bandingkan
dengan pemimpin saat ini. Kita akan temukan rumah-rumah dinas para penguasa
yang berjejal di halamannya mobil-mobil mewah. Tidak jarang fasilitas negara
justru digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga mereka. Di akhir masa
jabatannya, rakyat miskin malah bertambah, hutang negara membengkak, kurs mata
uang semakin merosot, tapi ironisnya harta kekayaannya dalam LHKPN terakhir
justru membuncit.
Gubernur
Said bin Amir al-Jumahi yang pernah memimpin Syam atau Hims di zaman
kekhalifahan Umar bin Khatthab juga memiliki sebuah kisah yang
fenomenal. Saat diminta oleh sang Khalifah untuk menjadi Gubernur
di Syam, apa jawaban Said? Bukan ungkapan kegirangan atau
ucapan terima kasih. Namun seperti orang yang tertimpa musibah dia menolak
amanah itu dan berkata, “Demi Allah, jangan kau timpakan fitnah kepadaku dan
jangan kau kalungkan amanah ini di leherku, jangan wahai Umar!”
Dengan
tertegun, Khalifah Umar kemudian menjawab, “Kalian limpahkan seluruh urusan
kalian ke pundakku. Apakah kalian akan biarkan aku sendirian menanggung beban
ini?” Lantaran jawaban Umar itulah akhirnya dengan terpaksa Said pergi ke Hims
untuk menjadi Gubernur. Di kemudian hari, justru namanyalah
yang tertera sebagai salah satu penduduk termiskin di negeri yang dipimpinnya
sendiri.
Bandingkan
kembali dengan kondisi saat ini. Demi sebuah kekuasaan para pemimpin saling
sikut dan saling menjatuhkan. Keserakahan menjadi kasat mata nampak di hadapan
kita. Nomor urut 1 menjadi rebutan para Caleg. Kekuasaan telah menjadi sebuah
gaya hidup. Pestapora kemenangan dirayakan sebagai simbol kebanggaan, padahal
beban amanah yang begitu berat terkalung di leher-leher mereka.
Sosok
berikutnya yang patut untuk dikenang adalah panglima kaum muslimin, Shalahuddin
al-Ayyubi. Separuh hidupnya didedikasikan untuk membebaskan negeri-negeri
muslim dari cengkeraman bangsa-bangsa penindas. Sang Panglima pantang menyerah
tatkala berada di medan jihad hingga begitu disegani oleh
pemimpin-pemimpin dunia pada saat itu. Baginya, tak sejengkalpun tanah kaum
muslimin layak dihinakan oleh siapapun. Baitul Maqdis di al-Quds, Mesir,
Suriah, dan dua kota umat Islam Mekah dan Madinah terjaga kehormatannya di
tangan Jenderal, Panglima sekaligus Khalifah kaum muslimin ini.
Malu rasanya
untuk membandingkan beliau dengan para pemimpin saat ini. Saat Palestina
terjajah, Mesir dihinakan, Muslim Rohingya dibantai, Muslim Afrika Tengah di
bakar hidup-hidup karena keimanan mereka, semuanya diam. Hanya kecaman dalam
pidato kenegaraan yang mereka andalkan untuk menutupi kelemahan mereka. Para
pemimpin muslim terjebak pada alasan klasik konsep negara-bangsa yang membatasi
persaudaraan hanya sampai pada batas-batas negara. Sungguh tak
berperikemanusiaan. Saksikan putra terbaik Islam! Shalahuddin al-Ayyubi tanpa
mengandalkan pidato kenegaraan, beliau terjun ke medan tempur demi kehormatan
tanah dan darah kaum muslimin.
Jama’ah
Jum’at Rahimakumullaah,
Allah
menghadirkan begitu banyak kisah-kisah kepemimpinan baik yang buruk maupun
yang diwarnai kesuksesan tidak lain adalah untuk menjadi peta bagi
arah berperilaku bagi pemimpin di era kini dan di masa mendatang.
Allah ceritakan kisah Fir’aun dan Namrudz di dalam al-Quran tidak untuk
diikuti, tapi untuk diambil pelajarannya. Sejarah menghadirkan kisah
kepemimpinan para suksesor agama Allah agar para pemimpin memiliki banyak
pilihan sebagai patron bagi arah dan perilaku kepemimpinan mereka.
Para
pemimpin sukses di zaman dahulu itu lahir ketika belum terdapat media sebagai
alat propaganda dan ketika belum berkembangnya sistem politik. Saat ini,
peran-peran politik rakyat dilibatkan secara langsung dalam suksesi kepemimpinan
sebagai imbas diterapkannya sistem demokrasi modern. Umat Islam yang menjadi
komponen terbesar di negara yang besar ini harus dapat memanfaatkan potensi
besar itu untuk kepentingan bangsa dan Negara yang berkeadilan (adil bagi semua
anak bangsa) dan berdaulat secara ekonomi dan politik (tanpa adanya
tekanan-tekanan dan kendali dari pihak asing).
Untuk para
calon pemimpin dan para pemimpin di level manapun, hendaknya menyempatkan diri
menyelami kembali sejarah para pemimpin Islam sebagai sumber inspirasi dan
sebagai bentuk ikhtiar positif dalam memberi arah dan warna bagi karakter
kepemimpinannya.
Para
pemimpin muslim selayaknya dapat memberi ruang bagi terciptanya aksi-aksi
populis tanpa rekayasa. Kisah-kisah kepemimpinan di masa kejayaan Islam telah
menguak begitu banyak narasi yang kaya akan hikmah kepemimpinan yang
sesungguhnya hingga menjadi layak untuk diteladani. Para pemimpin
seharusnya sadar dengan sepenuhnya bahwa kepemimpinan itu ada untuk
melayani, bukan untuk selalu dilayani. Kepemimpinan hadir sebagai bentuk
pengorbanan, bukan malah mengorbankan orang lain. Kepemimpinan eksis bukan
untuk mengejar materi, tetapi untuk menebar lebih banyak manfaat. Kepemimpinan
bukan untuk menambah tinggi kebanggaan tetapi sebagai peluang untuk menguji
ketawadhu’an. Kepemimpinan juga seharusnya menjadi sarana efektif menerapkan
konsep Rahmatan Lil ‘Alamin, bukan malah menjadi Musibah Lil
‘Alamin.
Dalam setiap
diri manusia, terbebani amanah kepemimpinan yang akan dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah. Rasulullah bersabda:
كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ
وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap
kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban
atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung
jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam
urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan
rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta
tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya
tersebut.”
Ketahuilah,
semakin besar kapasitas kepemimpinan seseorang, maka semakin besar pula kadar
pertanggungjawabannya di hadapan Allah.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا
فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ
وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.
0 comments:
Post a Comment