Kita sering melihat tayangan di TV, arsip asli yg
sering di putar di TV drama penyobekan bendera merah putih biru dan di sisakan
warna merah putih. Terlihat jelas 3 orang pemuda yg naik puncak hotel yamato.
Berikut adalah kisahnya.Drama Penyobekan Bendera di Hotel YamatoKetika
Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan, 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia
merayakan dengan suka cita. Di Surabaya, menandai kemerdekaan itu arek-arek
Suroboyo satu persatu menancapkan tiang, mengibarkan bendera merah putih di
berbagai sudut kota.
Pengibaran itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi
karena penjajahan Jepang belum sama sekali hilang. Namun, setelah munculnya
maklumat pemerintah (31 Agustus 1945) yang menetapkan mulai 1 September 1945
bendera nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh Indonesia,
gerakan pengibaran bendera makin meluas ke segenap pelosok kota. Di berbagai
tempat strategis dan tempat-tempat lainnya, susul menyusul bendera dikibarkan.
Antara lain di teras atas Gedung Kantor Karesidenan (kantor Syucokan, gedung Gubernuran
sekarang, Jl Pahlawan) yang terletak di muka gedung Kempei Tai (sekarang Tugu
Pahlawan), di atas gedung Internatio, disusul barisan pemuda dari segala
penjuru Surabaya yang membawa bendera merah putih datang ke Tambaksari
(lapangan Gelora 10 Nopember) untuk menghadiri rapat raksasa yang
diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Surabaya.
Saat itu lapangan Tambaksari penuh lambaian bendera
merah putih, disertai pekik 'Merdeka' mendengung di angkasa. Walaupun pihak
Kompeitai melarang diadakannya rapat tersebut, namun mereka tidak berdaya
menghadapi massa rakyat yang semangatnya tengah menggelora itu. Klimaks gerakan
pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato
Hoteru/Hotel Yamato atau Oranje Hotel, Jl Tunjungan 65 Surabaya. Mula-mula Jepang dan Indo
Belanda yang sudah keluar dari interniran menyusun suatu organisasi, Komite
Kontak Sosial, yang mendapat bantuan penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini
disponsori oleh Palang Merah Internasional (Intercross).
Namun, berlindung dibalik Intercross mereka melakukan
kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa
tempat telah mereka duduki, seperti Hotel Yamato. Pada 18 September 1945,
datanglah di Surabaya (Gunungsari) opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari Allied
Command (utusan Sekutu) bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta. Rombongan Sekutu oleh Jepang
ditempatkan di Hotel Yamato, Jl Tunjungan 65, sedangkan rombongan Intercross di
Gedung Setan, Jl Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karesidenan
Surabaya. Dan sejak itu Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of
Allied Prisioners of War and Internees).
Karena kedudukannya merasa kuat, sekelompok orang
Belanda di bawah pimpinan Mr W.V.Ch Ploegman pada sore hari (18 September 1945,
pukul 21.00), mengibarkan bendera Belanda(Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan
Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi
sebelah utara. Keesokan harinya (19 September 1945) ketika arek Surabaya
melihatnya, seketika meledak amarahnya. Mereka menganggap Belanda mau
menancapkan kekuasannya kembali di negeri Indonesia, dan dianggap melecehkan
gerakan pengibaran bendera yang sedang berlangsung di Surabaya.
Begitu kabar tersebut tersebar di seluruh kota Surabaya, sebentar saja Jl Tunjungan dibanjiri oleh massa rakyat, mulai dari pelajar berumur belasan tahun hingga pemuda dewasa, semua siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta halaman gedung yang berdampingan penuh massa dengan luapan amarah. Agak ke belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang tampak berjaga-jaga. Situasi saat itu menjadi sangat eksplosif.
Tak lama kemudian Residen Sudirman datang. Kedatangan pejuang dan diplomat ulung yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, menyibak kerumunan massa lalu masuk ke hotel. Ia ingin berunding dengan Mr Ploegman dan kawan-kawan. Dalam perundingan itu Sudirman meminta agar bendera Belanda Triwarna segera diturunkan.
Ploegman menolak, bahkan dengan kasar mengancam, "Tentara Sekutu telah menang perang, dan karena Belanda adalah anggota Sekutu, maka sekarang Pemerintah Belanda berhak menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Itu tidak kami akui." Sambil mengangkat revolver, Ploegman memaksa Sudirman untuk segera pergi dan membiarkan bendera Belanda tetap berkibar. Melihat gelagat tidak menguntungkan itu, pemuda Sidik dan Hariyono yang mendampingi Sudirman mengambil langkah taktis. Sidik menendang revolver dari tangan Ploegman. Revolver itu terpental dan meletus tanpa mengenai siapapun. Hariyono segera membawa Sudirman ke luar, sementara Sidik terus bergulat dengan Ploegman dan mencekiknya hingga tewas. Beberapa tentara Belanda menyerobot masuk karena mendengar letusan pistol, dan sambil menghunus pedang panjang disabetkan ke arah Sidik. Sidik pun tersungkur.
Di luar hotel, para pemuda
yang mengetahui kejadian itu langsung merangsek masuk ke hotel dan terjadilah
perkelahian di ruang muka Hotel. Sebagian yang lain, berebut naik ke atas
hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman
turut terlibat dalam pemanjatan tiang bendera. Akhirnya ia bersama Kusno Wibowo
berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek yang biru, dan mengereknya ke
puncak tiang kembali. Massa rakyat menyambut keberhasilan pengibaran
bendera merah putih itu dengan pekik "Merdeka" berulang kali, sebagai
tanda kemenangan, kehormatan dan kedaulatan negara RI.
Peristiwa heroik yang terjadi di Hotel Yamato itu antara lain menandai satu peristiwa besar dari tiga peristiwa lainnya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI di Surabaya. Hebatnya, pertempuran sebesar itu tidak sampai merusak kondisi bangunan, sehingga keaslian hotel ini masih tetap terjaga sepanjang waktu. Hotel ini semula bernama Oranje-Hotel atau Hotel Oranye. Didirikan pertama kali, 1910, oleh Mr Lucas Martin Sarkies (LMS), seorang bangsa Armenia dengan gaya Colonial dan Art Nouveau Style. Arsiteknya seorang Inggris bernama James Afprey. Lucas Martin Sarkies berasal dari keluarga Sarkies yang terkenal sebagai pemilik kerajaan hotel di Asia. Hotel yang dimilikinya antara lain Raffles Hotel di Singapura, yang hingga kini menjadi salah satu hotel bergengsi di negeri jiran itu, The Strant Hotel di Burma, The Eastern and Oriental Hotel di Penang (Malaysia) dan Hotel Niagara di Lawang (Malang, Jawa Timur).
Peristiwa heroik yang terjadi di Hotel Yamato itu antara lain menandai satu peristiwa besar dari tiga peristiwa lainnya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI di Surabaya. Hebatnya, pertempuran sebesar itu tidak sampai merusak kondisi bangunan, sehingga keaslian hotel ini masih tetap terjaga sepanjang waktu. Hotel ini semula bernama Oranje-Hotel atau Hotel Oranye. Didirikan pertama kali, 1910, oleh Mr Lucas Martin Sarkies (LMS), seorang bangsa Armenia dengan gaya Colonial dan Art Nouveau Style. Arsiteknya seorang Inggris bernama James Afprey. Lucas Martin Sarkies berasal dari keluarga Sarkies yang terkenal sebagai pemilik kerajaan hotel di Asia. Hotel yang dimilikinya antara lain Raffles Hotel di Singapura, yang hingga kini menjadi salah satu hotel bergengsi di negeri jiran itu, The Strant Hotel di Burma, The Eastern and Oriental Hotel di Penang (Malaysia) dan Hotel Niagara di Lawang (Malang, Jawa Timur).
Hingga kini, bentuk asli dari bangunan pertama Oranje-Hotel tersebut masih tampak pada bangunan ballroom utama yang bernama Balai Andhika. Lantai terasonya masih memakai yang asli, begitu juga ornamen interiornya. Di sisi belakang ballroom masih terdapat halaman dan taman indah peninggalan lama, yang dikelilingi deretan kamar-kamar berlantai dua. Setiap sisi deretan kamar dihubungkan oleh galeri (koridor), yang sisi luarnya dihiasi dengan motif lengkung (arch). Sehingga kalau jendela-jendela kamar dibuka, ruangan atau kamar tersebut akan terlindung dari sinar matahari langsung ataupun dari tempias air hujan.
Karena diperlukan ruang tunggu, informasi dan
pelayanan, maka dibangunlah sebuah lobby (1936) dengan gaya Art Deco Style di
halaman tengah, di depan ballroom. Untuk keperluan perluasan halaman antara
ballroom dengan lobby, maka kedua buah menara yang berada di kiri kanan pintu
masuk ballroom terpaksa dipugar.
Ketika pemerintah militer Jepang berkuasa di Surabaya
(1942), nama Oranje-Hotel dirubah menjadi Yamato Hoteru atau Hotel Yamato.
Fungsinya juga berubah menjadi markas militer Jepang. Setelah bertahan tiga
setengah tahun, Oranje-Hotel kembali fungsinya menjadi hotel. Dan untuk
beberapa waktu lamanya, setelah insiden perobekan bendera, hotel ini dikenal
sebagai Liberty Hotel atau Hotel Merdeka. Selanjutnya, hotel ini kembali
dikelola keluarga Sarkies, dan dirubah namanya menjadi Hotel LMS (Lucas Martin
Sarkies).
Setelah itu kepemilikan hotel berganti-ganti dan nama
hotel juga berubah. Dari Hotel LMS dirubah menjadi Hotel Majapahit (1969) oleh
pemilik baru Mantrust Holding Co. Hotel Majapahit kemudian dibeli oleh Sekar
Group (1993), perusahaan besar milik konglomerat asal Indonesia yang bergerak
di bidang produksi makanan, real estate, dan perusahaan jasa lainnya. Sekitar
tiga bulan kemudian dilakukan joint venture antara Sekar Group dan Mandarin
Oriental, untuk mengelola dan mengembangkan hotel secara bersama di bawah
payung PT Sekman Wisata. Nama hotelpun bertambah menjadi Hotel Majapahit
Mandarin Oriental Surabaya.
Dua setengah tahun kemudian (1996), Hotel Majapahit
mengalami restorasi besar-besaran, hingga menelan dana 35 juta dollar AS.
Hasilnya, Hotel Majapahit memiliki 150 kamar tidur kelas suite, 3 fasilitas
restoran bertaraf internasional, toko kue, room service 24 jam, 9 ruang
pertemuan dan pesta, tempat parkir dengan fasilitas 200 mobil, kolam renang
dengan fasilitas fitnes centre, sauna, whispool, steam, lapangan tenis,
business centre, lobby, kios serta halaman taman yang indah pada sisi belakang
hotel, yang masih dipertahankan sebagaimana bentuk aslinya.
Standar Hotel inipun terangkat menjadi Hotel Bintang
Lima internasional. Pada saat sama, mendapat penghargaan sebagai pengelola yang
berhasil menjaga keaslian bangunan dari Walikotamadya Surabaya.
Mungkin tak banyak yang tahu, di hotel ini pernah
menginap Charlie Chaplin, Crown Prince Leopold III, Princes Astrid dan Pangeran
Albert, ketiganya dari Belgia, bintang lapangan Christian Karembeau dan Adriana
Sklenarikova, Annemarie Jorritsma dari Nederlan, Bill Skate dan Rarua Skate
asal Papua New Guinea. Nilai kesejarahan yang tinggi dan model arsitektur yang
langka, menjadikan bangunan ini masuk cagar budaya yang harus
dilestarikan.
0 comments:
Post a Comment