Thursday, March 17, 2016

Penyesalan Yang Tiada Berujung



Penyesalan Yang Tiada Berujung

Tap.. Alan menepuk bahu kiriku sampai hampir terjatuh. Saat kami berjalan berbarengan, Alan melihat gadis-gadis cantik dan alay  yang lalu lalang di depan kami berdua saat itu. Dan dia cengengesan sendiri sedangkan aku tidak memberikan respons apa-apa.
**
Bruumm.. Bruumm..
“ Wah, temen kita sudah nggak bawa motor lagi nih kayanya, udah bawa mobil sport,” seruku sambil berkaca tidak karuan di mobil baru Alex saat di parkiran sekolah.
“ Iya dong, sudah satu mingguan ini aku membujuk papi biar dibeliin mobil sport,” ujar Alex sambil mengatupkan pintu mobil dan berjalan dengan membusungkan dada.
Saat itu Alan, Aku, Alex berjalan menuju ke kelas . Yap, kelas kami memanglah kelas yang strategis, untuk menuju ke kelas kami harus melalui kelas tingkat rendah dan tinggi. Untunglah dengan rasa bersyukur pada Ibu Fajrin tahun ini kami masuk kelas unggul walaupun Alex dengan cara menyogok.
“ Ciye.. abang yang mobil sportnya baru, nebeng ya bang,”
“ Bang, pasti mahal ya mobilnya,”
Alex yang dipanggil “Abang” itu hatinya seakan-akan melayang-layang saat dipuji oleh adik kelasnya . Fly ! Fly !.
Bel pulang tampaknya sudah kedengaran karena cowok – cowok di kelas itu sudah mulai berkeliaran keluar kelas.
Hurray ! Nebeng bang!,”ucap Alan sambil menepuk bahu Alex.
“ Naik!,”balas Alex.

Aku dan Alex menaiki mobil sport yang masih kinclong karena baru keluar dari dealer.
“ Aga, sekarang tinggal kamu yang belum punya kendaraan, Alan sudah punya motor sport, ayo minta belikan sama ayahmu, kalau perlu merengek-rengek,” kata Alex sambil melihatku dari kaca kecil didalam mobil.
Alan dan Alex mulai mengolok- oloki Aga untuk beli motor sport baru. Hati Aga pun mulai terhasut dengan kata – kata mereka berdua. Aga hanya bisa melongok saat itu.
“ Iya juga bener kata Alex, tapi kalau aku minta belikan motor sport sama ayah pasti dia tak akan mengizinkannya , toh ayah saja cuma pake motor bebek butut, ah aku hanya punya satu pilihan! Mencuri uang ibu,” bisikku dalam hati.
Tiga sahabat karib itu menghabiskan perjalanannya dengan cerita-cerita.
“ Bang, terima kasih ya, besok-besok nebeng lagi,” ucapku pada Alex. Aku berjalan masuk ke dalam rumah tapi, masih terngiang ditelingaku olok-olokan Alex dan Alan di mobil tadi. Aku pun meletakkan tasku di dalam kamar. Tanpa pikir panjang, aku pun segera melakukan apa yang kupirkirkan tadi. Rasanya tanganku seperti bergerak sendiri.
**
Aku mulai menggeledahi lemari ibu. Tapi aku mengambil uang ibu secara berangsur-angsur agar tidak ketahuan. Sekali, dua kali kelakuanku itu tidak diketahui oleh ayah dan ibu. Tapi sebelumnya, aku sudah mulai merasa bersalah, karena ingin mempertahankan kesolidaritasan, ya terpaksa aku lakukan.
Pada hari ketiga.”Braak”. Apa itu? Ibu bertanya-tanya. Saat ia masuk kedalam kamarnya.
“ Ya Tuhan, anakku ternyata kamu yang selama ini mencuri uang ibu,”ucap ibunya sambil menguraikan air mata. Tiba-tiba, secara tidak sengaja ayah mendengar perkataan ibu dan tanpa pikir panjang , “ Plak!,” telapak tangan ayah mendarat di pipi kiriku.
“ Untuk apa kamu mencuri uang ibu nak?,” Tanya ayah dengan nadanya yang keras. “ Aga kepengin punya motor sport kaya teman-teman yang lain,” jawab Aga.
“ Ya Tuhan anakku ayah baru saja merencanakan mau membelikan kamu motor sport, tapi ketika mendengar kamu mencuri, buat apa ayah habiskan uang untuk membelikan motor anak yang suka mencuri,” ujar ayah dengan keras.
Atas kesalahan yang kulakukan. Aku harus bertanggung jawab atas semua itu. Ayah tak akan pernah membelikan motor untukku lagi. Harapan itu pupus, aku telah menghiba, memohon pada ayah. Dan aku harus menerima semua konsekuensi atas kesalahanku.
Untuk menghilangkan kegundahanku itu, sekarang aku sudah jarang untuk pulang kerumah dan lebih memilih untuk berkumpul bersama teman-teman. Tapi, aku tak memikirkan bahwa ayah dan ibuku di rumah sibuk untuk mencariku kemana-mana karena cemas.
Pagi itu, “ Aga, bangun nak,” seru ibu mengetuk pintu kamarku. “Aga..,” ibu terus mengetuk pintu. Brak, ibu mendorong pintu kamarku. Pagi itu aku tak ada di rumah dan aku menuliskan sepucuk surat yang berisikan,
Ibu, Ayah, mungkin Aga sudah tidak baik dimata kalian
Aga hanyalah bisa mencuri uang saja
Aga sudah tidak berarti lagi di rumah ini
Dengan mewakili surat ini, Aga hanya bisa berkata Aga akan pergi jauh dari rumah ini dan mungkin tak kembali selamanya
Setetes air mata keluar dari mata ibu, akhirnya setetes air mata itu berubah menjadi berurai air mata. Ibu tidak bisa lagi menahan isak tangisnya bersama derai hujan yang membasahi pekarangan rumahku. Lantunan doa yang mendayu-dayu di dalam rumahku mulai terdengar
Ayah dan ibuku hanya bisa menangis melihatku yang sudah tertutup kain putih saat itu.**
 Karya : Rahma Yuliana 7a

0 comments:

Post a Comment