Penyesalan
Yang Tiada Berujung
Tap.. Alan menepuk bahu
kiriku sampai hampir terjatuh. Saat kami berjalan berbarengan, Alan melihat
gadis-gadis cantik dan alay yang lalu lalang di depan kami berdua saat
itu. Dan dia cengengesan sendiri sedangkan aku tidak memberikan respons apa-apa.
**
Bruumm.. Bruumm..
“ Wah, temen kita sudah
nggak bawa motor lagi nih kayanya, udah bawa mobil sport,” seruku sambil
berkaca tidak karuan di mobil baru Alex saat di parkiran sekolah.
“ Iya dong, sudah satu
mingguan ini aku membujuk papi biar dibeliin mobil sport,” ujar Alex sambil
mengatupkan pintu mobil dan berjalan dengan membusungkan dada.
Saat itu Alan, Aku,
Alex berjalan menuju ke kelas . Yap, kelas kami memanglah kelas yang strategis,
untuk menuju ke kelas kami harus melalui kelas tingkat rendah dan tinggi.
Untunglah dengan rasa bersyukur pada Ibu Fajrin tahun ini kami masuk kelas
unggul walaupun Alex dengan cara menyogok.
“ Ciye.. abang yang
mobil sportnya baru, nebeng ya bang,”
“ Bang, pasti mahal ya
mobilnya,”
Alex yang dipanggil
“Abang” itu hatinya seakan-akan melayang-layang saat dipuji oleh adik kelasnya
. Fly ! Fly !.
Bel pulang tampaknya
sudah kedengaran karena cowok – cowok di kelas itu sudah mulai berkeliaran
keluar kelas.
“ Hurray ! Nebeng bang!,”ucap Alan sambil menepuk bahu Alex.
“ Naik!,”balas Alex.
Aku dan Alex menaiki
mobil sport yang masih kinclong karena baru keluar dari dealer.
“ Aga, sekarang tinggal
kamu yang belum punya kendaraan, Alan sudah punya motor sport, ayo minta
belikan sama ayahmu, kalau perlu merengek-rengek,” kata Alex sambil melihatku
dari kaca kecil didalam mobil.
Alan dan Alex mulai
mengolok- oloki Aga untuk beli motor sport baru. Hati Aga pun mulai terhasut
dengan kata – kata mereka berdua. Aga hanya bisa melongok saat itu.
“ Iya juga bener kata
Alex, tapi kalau aku minta belikan motor sport sama ayah pasti dia tak akan
mengizinkannya , toh ayah saja cuma
pake motor bebek butut, ah aku hanya punya satu pilihan! Mencuri uang ibu,”
bisikku dalam hati.
Tiga sahabat karib itu
menghabiskan perjalanannya dengan cerita-cerita.
“ Bang, terima kasih
ya, besok-besok nebeng lagi,” ucapku pada Alex. Aku berjalan masuk ke dalam
rumah tapi, masih terngiang ditelingaku olok-olokan Alex dan Alan di mobil
tadi. Aku pun meletakkan tasku di dalam kamar. Tanpa pikir panjang, aku pun
segera melakukan apa yang kupirkirkan tadi. Rasanya tanganku seperti bergerak
sendiri.
**
Aku mulai menggeledahi
lemari ibu. Tapi aku mengambil uang ibu secara berangsur-angsur agar tidak
ketahuan. Sekali, dua kali kelakuanku itu tidak diketahui oleh ayah dan ibu.
Tapi sebelumnya, aku sudah mulai merasa bersalah, karena ingin mempertahankan
kesolidaritasan, ya terpaksa aku lakukan.
Pada hari
ketiga.”Braak”. Apa itu? Ibu bertanya-tanya. Saat ia masuk kedalam kamarnya.
“ Ya Tuhan, anakku ternyata kamu yang selama ini mencuri uang ibu,”ucap ibunya sambil menguraikan air mata. Tiba-tiba, secara tidak sengaja ayah mendengar perkataan ibu dan tanpa pikir panjang , “ Plak!,” telapak tangan ayah mendarat di pipi kiriku.
“ Ya Tuhan, anakku ternyata kamu yang selama ini mencuri uang ibu,”ucap ibunya sambil menguraikan air mata. Tiba-tiba, secara tidak sengaja ayah mendengar perkataan ibu dan tanpa pikir panjang , “ Plak!,” telapak tangan ayah mendarat di pipi kiriku.
“ Untuk apa kamu
mencuri uang ibu nak?,” Tanya ayah dengan nadanya yang keras. “ Aga kepengin
punya motor sport kaya teman-teman yang lain,” jawab Aga.
“ Ya Tuhan anakku ayah
baru saja merencanakan mau membelikan kamu motor sport, tapi ketika mendengar
kamu mencuri, buat apa ayah habiskan uang untuk membelikan motor anak yang suka
mencuri,” ujar ayah dengan keras.
Atas kesalahan yang
kulakukan. Aku harus bertanggung jawab atas semua itu. Ayah tak akan pernah
membelikan motor untukku lagi. Harapan itu pupus, aku telah menghiba, memohon
pada ayah. Dan aku harus menerima semua konsekuensi atas kesalahanku.
Untuk menghilangkan
kegundahanku itu, sekarang aku sudah jarang untuk pulang kerumah dan lebih
memilih untuk berkumpul bersama teman-teman. Tapi, aku tak memikirkan bahwa
ayah dan ibuku di rumah sibuk untuk mencariku kemana-mana karena cemas.
Pagi itu, “ Aga, bangun
nak,” seru ibu mengetuk pintu kamarku. “Aga..,” ibu terus mengetuk pintu. Brak,
ibu mendorong pintu kamarku. Pagi itu aku tak ada di rumah dan aku menuliskan
sepucuk surat yang berisikan,
Ibu,
Ayah, mungkin Aga sudah tidak baik dimata kalian
Aga
hanyalah bisa mencuri uang saja
Aga
sudah tidak berarti lagi di rumah ini
Dengan
mewakili surat ini, Aga hanya bisa berkata Aga akan pergi jauh dari rumah ini
dan mungkin tak kembali selamanya
Setetes air mata keluar
dari mata ibu, akhirnya setetes air mata itu berubah menjadi berurai air mata.
Ibu tidak bisa lagi menahan isak tangisnya bersama derai hujan yang membasahi
pekarangan rumahku. Lantunan doa yang mendayu-dayu di dalam rumahku mulai
terdengar
Ayah dan ibuku hanya
bisa menangis melihatku yang sudah tertutup kain putih saat itu.**
Karya : Rahma Yuliana 7a
0 comments:
Post a Comment